ads
Poin Penting Dalam Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024

Poin Penting Dalam Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024

Smallest Font
Largest Font

Dalam sidang pembacaan putusan yang digelar pada hari Senin (22/4), Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan untuk menolak gugatan atas sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, yang sebelumnya diajukan oleh pasangan nomor urut satu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (AMIN) dan pasangan nomor urut tiga Ganjar Pranowo-Mahfud MD. 

Seluruh dalil yang digunakan dalam permohonan sengketa Pilpres 2024 dinyatakan Mahkamah Konstitusi tidak memiliki alasan yang berlandaskan hukum. Oleh karenanya pihak majelis hakim pun menolak apa yang diajukan oleh para pemohon seluruhnya. 

Dissenting Opinion atau ketidaksetujuan lewat pendapat yang berbeda disampaikan oleh tiga hakim, yakni Saldi Isra, Enny Nurbaningsih serta Arief Hidayat. Namun jumlah ketiga hakim ini kalah banyak, di mana lima hakim lainnya setujuk untuk menolak permohonan. 

Pencalonan Gibran Tak Bermasalah

Kubu AMIN sebelumnya menyampaikan gugatannya, bahwa Gibran Rakabuming Raka dinilai tidak memenuhi persyaratan administrasi dalam pencalonannya sebagai calon wakil presiden (Cawapres). Pasalnya, pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU) memproses pencalonan Gibran dengan memakai Peraturan KPU bernomor 19 Tahun 2023. Adapun pada aturan itu mencatut soal syarat usia minimum yang masih memakai aturan lama dan belum diubah dengan putusan MK yang baru, yaitu minimal berusia 40 tahun. 

Akan tetapi pihak MK memandang bahwa KPU sudah menunjukkan inisiatif dengan memberi tahu soal perubahan syarat usia capres dan cawapres lewat Surat Nomor 1145/PL.01-SD/05/2023 kepada para pimpinan partai politik (Parpol) yang ikut Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. 

Di sisi lain, KPU juga tidak bisa dengan segera melakukan perubahan aturan, lantaran harus berkonsultasi terlebih dahulu dengan pihak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga pemerintah. Di saat yang sama, DPR dalam masa reses. 

Sehingga MK pun menilai jika KPU telah terikat dengan jadwal serta tahapan Pemilu, walaupun wajib untuk menerapkan putusan MK yang memberikan pengaruh atas norma pencalonan itu sendiri. 

Tak Ada Politisasi Bansos

Dengan tegas, MK menyatakan jika Pemilu adalah sebuah kompetisi yang tidak akan pernah berjalan secara seimbang, apalagi jika salah satu pesertanya merupakan petahana. 

Berangkat dari kondisi itu, MK menilai endorsement yang diberikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada pasangan nomor urut dua Prabowo Subianto dan Gibran, tidak termasuk pelanggaran hukum. 

Pengaruh politisasi atas pemberian bantuan sosial (Bansos) kepada menangnya pasangan nomor urut dua, tidak terbukti dalam sidang. Selain itu juga tidak ada kejanggalan yang dilihat oleh MK dalam penggunaan anggaran Bansos, utamanya yang diberikan pemerintah. 

Sebab, penetapan serta pelaksanaan anggaran untuk bansos sudah diatur dengan jelas dan bisa dipertanggungjawabkan. 

Masalah di Sirekap Tak Berpengaruh

Pihak MK juga menolak soal dalil terjadinya kecurangan sehingga terjadi polemik pada aplikasi Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) KPU. 

Masalah pemasukan data perolehan suara di Sirekap, serta adanya penutupan akses untuk publik, dinilai MK tidak berdampak apapun terhadap perolehan suara. Pasalnya, Sirekap bukanlah alat resmi penghitungan suara.

Walaupun begitu, MK menyatakan jika masalah yang terjadi di Sirekap memunculkan kegaduhan serta ketidakpastian. Sehingga ke depannya, Sirekap lebih baik dikelola oleh lembaga lain yang lebih mumpuni. 

Usulan Pemilu Ulang

Jajaran majelis hakim dalam sidang putusan MK tidak berada dalam satu suara soal sengketa Pilpres 2024. Kondisi ini merupakan yang pertama dalam sejarah. 

Seperti yang diketahui, tiga hakim yang menyatakan Dissenting Opinion meyakini jika dalam Pemilu 2024 telah terjadi banyak pelanggaran, yang berhubungan dengan intervensi kekuasaan. Termasuk juga pihak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang tidak menindaklanjuti laporan yang masuk soal dugaan kecurangan. 

Mereka pun berpendapat, seharusnya MK memerintahkan kepada KPU untuk menggelar Pemilu ulang di beberapa daerah yang dinilai mengalami masalah netralitas pejabat. Misalnya di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan juga Sumatera Utara. 

Tim Editor
Daisy Floren

Apa Reaksi Kamu?

  • Like
    0
    Like
  • Dislike
    0
    Dislike
  • Funny
    0
    Funny
  • Angry
    0
    Angry
  • Sad
    0
    Sad
  • Wow
    0
    Wow
ads

Paling Banyak Dilihat

ads
ads